Prof. Dr. Buya HAMKA
Cinta Adalah Inspirasi Mengarang
“Dasar (Inspirasi) kepengarangan
saya (menjadi pengarang) adalah cinta,” “Cinta tertinggi adalah Dia Yang
Pengasih dan Maha Penyayang, yaitu Allah SWT. Pandanglah alam dengan penuh
cinta, dan berjuanglah dengan semangat cinta. Dengan begitu anda akan
berbalas-balas cinta dengan Dia pemberi cinta. Cinta sejati adalah tatkala anda
memasuki gerbang maut dan bertemu Dia, ‘Almautu ayatu bi shadiq’.”
[Prof. Dr. Buya Hamka]
“Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah,
Dengan agama hidup menjadi terarah.”
Merasa rugi bagi yang tidak kenal dengan seorang ulama, aktivis politik, sastrawan,
politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di
alam Nusantara yang satu ini. Beliau
adalah Prof. Buya HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun
1908-1981. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik. Ibunya dari
keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul,
dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada
tahun 1906. Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal
dari kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku,
atau seseorang yang dihormati.
Kita tahu kalau Buya HAMKA selain
aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan memiliki penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi
wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita
Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928,
beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah
menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang sangat inspiratif dan
pruduktif. Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai
negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman.
Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di
Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah
membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan
merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di
Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji
Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi
Kita.
Kita tentu sudah mahfum tentang pepatah ini, “Semakin tinggi pohon, semakin
kencang pula angin yang menerpanya.” Karya besar dan menjadi pribadi berjiwa
besar akan selalu dekat yang namanya ujian. Semakin tinggi dan besar, maka
ujiannya pun semakin besar. Tidak bisa kita tepis lagi apa yang terjadi dengan
Buya HAMKA. Buya Hamka pernah masuk penjara dengan tuduhan palsu. Namun,
menjadi inspirasi besar untuk menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang lengkap 30 jus
dan sudah dicetak ulang puluhan kali. Ternyata rahasia beliau eksis berkarya
adalah cinta. Inspirasi menjadi pengarangnya adalah cinta.
Penghargaan
Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu
Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor
Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan
Gelar Datuk Indomo dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Kemudian,
Tun Abdul Razak, pada waktu itu sebagai Presiden Universitas terbesar di
Malaysia—UKM membacakan pidato elu-eluannya dengan menyebut Promovendus Prof.
Dr. HAMKA sebagai pujangga Islam yang menjadi kebanggaan semua rumpun Melayu.
“HAMKA
bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kabanggaan bangsa-bangsa Asia
Tenggara.” Ujar Tun Razak.
Pandangan Hamka Tentang Kesusastraan
Pandangan sastrawan, HAMKA
yang juga dikenal sebagai Tuanku Syaikh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik
Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada
empat syarat untuk menjadi pengarang (penulis). Pertama, memiliki daya khayal
atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan
hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut
menjadi sebuah tulisan.
Karya-karya buku sejak mulai menulis dan mengarang 1925 (sejak usia 17
Tahun)
1. Khatibul Ummah. Jilid I
2. Khatibul Ummah. Jilid II
3. Khatibul Ummah. Jilid III
4. Si Sabariah (Roman, huruf Arab dan Minangkabau, dicetak tiga kali)
5. Adat Minangkabau dan Agama Islam
6. Ringkasan Tarikh Umat Islam (1929)
7. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929)
8. Hikmat Isra’ dan Mi’raj
9. Arkanul Islam (1932) di Makasar
10.Laila Majnun (1932) Balai Pustaka
11.Majalah “Tentara” (4 nomor) di Makasar
12.Majalah Al Mahdi (9 nomor) 1932 di Makasar
s.d 118. Tafsir Al-Azhar Juz XXX. Karya Buya HAMKA berjumlah 118 karya
(buku, novel dll) dan masih ada dalam majalah Panji Masyarkat.
(DARI BUKU BERGURU SUKSES PADA PENULIS BESAR DUNIA, Karya: Muklisin Raya & Satri Adzkiya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar