Rabu, 26 November 2014

Prof. Dr. Buya HAMKA

Prof. Dr. Buya HAMKA
Cinta Adalah Inspirasi Mengarang

“Dasar (Inspirasi) kepengarangan saya (menjadi pengarang) adalah cinta,” “Cinta tertinggi adalah Dia Yang Pengasih dan Maha Penyayang, yaitu Allah SWT. Pandanglah alam dengan penuh cinta, dan berjuanglah dengan semangat cinta. Dengan begitu anda akan berbalas-balas cinta dengan Dia pemberi cinta. Cinta sejati adalah tatkala anda memasuki gerbang maut dan bertemu Dia, ‘Almautu ayatu bi shadiq’.”
[Prof. Dr. Buya Hamka]
 “Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah,
Dengan agama hidup menjadi terarah.”
Merasa  rugi bagi yang tidak kenal dengan seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara yang satu ini.  Beliau adalah Prof. Buya HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 1908-1981. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik. Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
            Kita tahu kalau Buya HAMKA selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan memiliki penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
            Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang sangat inspiratif dan pruduktif. Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Kita tentu sudah mahfum tentang pepatah ini, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya.” Karya besar dan menjadi pribadi berjiwa besar akan selalu dekat yang namanya ujian. Semakin tinggi dan besar, maka ujiannya pun semakin besar. Tidak bisa kita tepis lagi apa yang terjadi dengan Buya HAMKA. Buya Hamka pernah masuk penjara dengan tuduhan palsu. Namun, menjadi inspirasi besar untuk menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang lengkap 30 jus dan sudah dicetak ulang puluhan kali. Ternyata rahasia beliau eksis berkarya adalah cinta. Inspirasi menjadi pengarangnya adalah cinta.
Penghargaan
            Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan  Gelar Datuk Indomo dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
            Kemudian, Tun Abdul Razak, pada waktu itu sebagai Presiden Universitas terbesar di Malaysia—UKM membacakan pidato elu-eluannya dengan menyebut Promovendus Prof. Dr. HAMKA sebagai pujangga Islam yang menjadi kebanggaan semua rumpun Melayu.
            “HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kabanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.” Ujar Tun Razak.
Pandangan Hamka Tentang Kesusastraan
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syaikh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang (penulis). Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Karya-karya buku sejak mulai menulis dan mengarang 1925 (sejak usia 17 Tahun)
1. Khatibul Ummah. Jilid I
2. Khatibul Ummah. Jilid II
3. Khatibul Ummah. Jilid III
4. Si Sabariah (Roman, huruf Arab dan Minangkabau, dicetak tiga kali)
5. Adat Minangkabau dan Agama Islam
6. Ringkasan Tarikh Umat Islam (1929)
7. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929)
8. Hikmat Isra’ dan Mi’raj
9. Arkanul Islam (1932) di Makasar
10.Laila Majnun (1932) Balai Pustaka
11.Majalah “Tentara” (4 nomor) di Makasar
12.Majalah Al Mahdi (9 nomor) 1932 di Makasar 
s.d 118. Tafsir Al-Azhar Juz XXX. Karya Buya HAMKA berjumlah 118 karya (buku, novel dll) dan masih ada dalam majalah Panji Masyarkat.
(DARI BUKU BERGURU SUKSES PADA PENULIS BESAR DUNIA, Karya: Muklisin Raya & Satri Adzkiya)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar