Imam asy-Syafi’i
Imam Muli dan Memiliki Banyak Karya yang Memesona
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi’i. Kita pikir
semua orang muslim tahu dan dunia mengakuinya. Nah, sekarang kita tidak
berbicara soal mahzab, namun lebih jauhnya adalah semangat menuntut ilmu,
berjuang dalam agama dan berkarya.
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin
Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah
bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin
Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga
dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah
dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul
(bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek
Rasulullah yang ketiga. Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang
bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan
Rasulullah SAW ketika masih muda. Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip
dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW
berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid
beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya
dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.”
Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits)
atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits
Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah. Kelahiran Dan
Pertumbuhannya.
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang
merupakan-menurut pendapat yang kuat-tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi
mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya. Ada banyak
riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah
bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di
kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang
yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing
dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik.
Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka
dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil
menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar
dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun
gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak
menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa
masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang
bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat
itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati
agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun
merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang
memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan
menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30
juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab
al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18
tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid
az-Zanji.
Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan
membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam
terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga
gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu
bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal
sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari
orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair,
beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Di Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada
majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang
datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang
dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau
memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang
sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama
masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat
(Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau
meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan
fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda
dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang
buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang
dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di
dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah.
Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan
teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di
mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan
aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian
dalil yang dipakai di dalam menggalinya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda
terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah
dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin
melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka
menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat
imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair.
Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah
di dalam bahasa ‘Arab.
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i
bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir
klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah
yang berlaku di tengah manusia.
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak
akalnya, benar pandangan dan pikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat
mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada
shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya
meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam
satu kali khatam al-Qur’an. Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa`
meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i
membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua
untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi
lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya
hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H. Alangkah indah
isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang
dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi, Tidakkah engkau lihat peninggalan
Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya. Dalil-dalilnya mengenai berbagai
problematika begitu berkilauan .
Buah
Pelajaran dari Sang Guru Pena:
Seperti yang sudah kita singgung bahwa harta
dan warisan yang tidak akan lapuk ditelan zaman adalah ilmu. Dan sebaik-baik
ilmu adalah bermanfaat. Maka, agar ilmu itu tetap menularkan kebaikan haruslah dideposit-kan
ke bank karya. Sungguh beruntunglah mereka yang telah punya tabungan, deposito
karya, karena dengannya akan mengalir amalan yang bermanfaat walaupun mereka
tidak lagi menghirup udara bersama kita. Sehingga kata-kata yang keluar dari
mulut dan tangan (tulisan) mereka adalah mutiara yang indah, cahaya yang
menerangi siapa saja yang membawanya. Di masa Imam Syafi’i cukup banyak ulama
besar, namun karena Imam Syaf’i selain sebagai ulama tapi juga menulis sebagai
media dakwahnya, hingga beliau lebih dikenal dan itu sangat positif dalam
penyampaian dakwah, bahkan hingga hari ini ia masih hidup dalam karyanya.
Maka, jangan pernah ragu untuk berguru sukses
dari para manusia besar, apalagi ulama yang tidak diragukan keilmuannya dalam
agama, seperti Imam Syafi’i dan ulama lainnya yang sudah berkarya.