Selasa, 02 Desember 2014

Penulis Pemula, Bagaimana Cara Menulis Buku ?

Kenapa Perlu Menulis Buku ? Sebuah pertanyaan yang biasa diajukan anak-anak baru di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) seaktu dulu sering jadi pembicara pelatihan menulis tingkat dasar di kampus. Kalo ditanya begitu, saya selalu menjawabnya, karena bagi kita yang gak punya harta benda, hanya menulis buku yang bisa jadi warisan dan amal setelah kita tiada.


Suatu ketika, saya mengisi pelatihan menulis di sebuah Ponpes di Lombok Tengah, seperti biasanya saya bertanya balik ke peserta , kalian tahu siapa pengarang kitab-kitab fiqh yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan itu, mereka itu imam syafi’i, Hanafi, Hambali dan masih banyak yang lain. Kenapa mereka selalu diingat hingga hari ini, karena mereka menulis buku. Lha…
Saya kemudian biasanya biasanya menegaskan ini dengan nyontek kata-kata motivasi dari Pramoedya Ananta Toer, kata dia, menulis itu proses mengabadikan diri. Hmm. Jadi, walau jawabanku agak melo, |menulis buku itu satu-satunya warisan termurah orang-orang miskin kayak kita” tapi ada benarnya juga toh.
Yoi bro, lalu bagaimana cara menulis buku ? Ini pertanyaan berat tapi sebetulnya mudah dijawab. “tulis saja apa yang mau kamu tulis, jangan edit, jangan hakimi tulisanmu, tulis, tulis dan tulis, ketika sudah banyak serahkan ke saya” begitu kata guru saya Fawaizul Umam, S. Ag di kampus dulu.

Banyak penulis pemula yang meganggap keterampilan menulis itu sulit dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa. Anggapan ini keliru besar, saya berpendapat ekstrim, kegiatan menulis itu mudah, gak punya aturan apalagi tekhnik-tekhnik ribet. Tinggal tulis saja apa yang susah padahal sejak Sekolah Dasar kita juga sudah menulis.

Maka saya rasa cukup aneh, jika ada orang yang sedang belajar menulis sibuk membeli buku How To misal panduan menulis buku, panduan menulis novel, cara menulis buku dan seterusnya. Secara tidak sadar dengan buku-buku panduan itu ia sudah mengkerangkeng dirinya dalam tekhnis menulis yang akan emnghambat kegiatan menulisnya itu.

Tapi tentu saja ini hanya pendapat ekstrim yang digunakan memotivasi penulis-penulis pemula. Bagi penulis terampil atau penulis buku produktif tentu  akan menemukan tekhnik-tekhnik menulis atau cara-cara menulis menurut sendiri nyaman dan cepat. Tapi, sebaiknya, bagi penulis pemula, nantilah berfikir soal tekhnis, yang penting menulis dulu.

Jadi sekali lagi, untuk membuat sebuah tulisan esai misalnya, jangan cari artikel orang tentang cara menulis esay, tapi langung saja menulis esai, esay yang tentu menurut anda dulu, jangan hiraukan pendapat orang lain. Pesraoalan nanti ada orang yang bilang itu bukan esay tapi sebuah cerpen, kan anda sudah berhasil ternyata menulis cerpen.

Nah, begitu juga ketika anda ingin menulis cerpen, menulis blog, menulis novel dan lain-lain. Anda tak perlu membeli panduan menulis novel, panduan menulis esay,cara menulis cerpen, cara menulis novel, itu semua sekali lagi adalah penjara kreatifitas bagi anda yang baru memulai menulis.

Begitulah cara menulis buku yang sudah diterapkan penulis-penulis produktif.Saya ingin tegaskan sekali lagi, tekhnik menulis itu nantilah anda pelajari, yang terpenting adalah tulisannya, susunan paragraf-paragraf yang ketika anda baca sendiri tulisan itu anda mengerti.

Jika sudah terbiasa menulis, dengan sendirinya keterampilan menulis itu akan jadi milik anda dan cara menulis buku akan anda temukan sendiri, dengan gaya penulisan anda sendiri

Yach, itulah sedikit yang bisa saya tulis tentang Bagaimana Cara Menulis Bukusemoga anda ada manfaanya untuk anda


http://media.kompasiana.com/buku/2013/05/07/penulis-pemula-bagaimana-cara-menulis-buku--557891.html

Rabu, 26 November 2014

BIOGRAFI Thomas Alva Edison


Suatu hari, seorang bocah berusia 4 tahun, agak tuli dan bodoh di sekolah, pulang ke rumahnya membawa secarik kertas dari gurunya. ibunya membaca kertas tersebut, Tommy, anak ibu, sangat bodoh. kami minta ibu untuk mengeluarkannya dari sekolah. Sang ibu terhenyak membaca surat ini, namun ia segera membuat tekad yang teguh, ” anak saya Tommy, bukan anak bodoh. saya sendiri yang akan mendidik dan mengajar dia.”
Tommy kecil adalah Thomas Alva Edison yang kita kenal sekarang, salah satu penemu terbesar di dunia. dia hanya bersekolah sekitar 3 bulan, dan secara fisik agak tuli, namun itu semua ternyata bukan penghalang untuk terus maju.
Siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah tuli yang bodoh sampai-sampai diminta keluar dari sekolah, akhirnya bisa menjadi seorang genius? jawabannya adalah ibunya! Ya, Nancy Edison, ibu dari Thomas Alva Edison, tidak menyerah begitu saja dengan pendapat pihak sekolah terhadap anaknya.
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah. ~ Thomas Alva Edison

Rahasia Keunggulan Para Tokoh Besar

Rahasia Keunggulan Para Tokoh Besar “If I have been able to see further, it was only because I stood, on the shoulders of Giants.” Isaac Newton Semua tokoh–tokoh terbesar dunia adalah para penyerap ilmu pengetahuan besar. Mereka mendapatkan pengetahuan besarnya, terutama dari membaca. Mereka adalah kutu buku kelas berat. Harun al-Rasyid (dari Masa Keemasan Peradaban Islam, Zaman 1001 Malam) adalah penggemar karya-karya Plato dan Aristoteles. Napoleon adalah pembaca kelas berat. Dia membaca tentang Alexander the Great, Julius Caesar (juga “Perang Galia”), Plutarch, Homer, Plato, Rousseau, berbagai buku tentang kemiliteran, sejarah, pemerintahan, geografi, bahkan membaca Al-Qur’an semasa ekspedisinya ke Mesir. Isaac Newton sejak muda membaca karya para tokoh–tokoh besar masa lalu, “The Giants“, Euclid, Kopernicus, Galileo, Descartes dan banyak lainnya. Hitler adalah pembaca buku–buku militer, buku sejarah kebesaran Jerman, Bismarck, filosofi Nietzsche, dan banyak lainnya. Saat menganggur dipakainya untuk menghabisi buku–buku di perpustakaan di Wina, Austria. Einstein suka bolos sekolah untuk bisa membaca lebih banyak. John F. Kennedy tidak hanya pembaca buku. Ia menulis buku “Profiles in Courage” yang meraih penghargaan tertinggi Pulitzer tahun 1957. Bill Gates (pendiri Microsoft, orang terkaya di dunia) menghabisi seluruh buku komputer di perpustakaan sekolahnya hanya dalam waktu beberapa minggu. Alexander The Great kemanapun pergi selalu membawa buku cerita kepahlawanan pahlawan besar Achilles berjudul “Iliad ” karangan Homer. Mukjizat terakhir yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sebuah buku. Bagaimana Dengan Tokoh-tokoh Besar Indonesia? Sukarno sejak remaja (di hbs/SMU) sudah senang membaca buku-buku filsafat Voltaire dan Rousseau, tokoh-tokoh Marx, Karl Kautsky, dan Lenin, juga para bapak bangsa Amerika, Washington, Jefferson, dan Lincoln. Ada juga Ernest Renan dan H.G Wells. Sukarno juga belajar berpidato selain dari Tjokroaminoto juga dari membaca buku seperti dari Adler dan Jean Léon Jaurès (1859-1914), pemimpin sosialis Prancis. (Siapakah tokoh-tokoh yang begitu dikagumi Sukarno ini? lihat Wikipedia.org) (“selama masa hbs ia (Sukarno) bagaikan busa yang mengisap semua informasi intelektual yang bisa ia peroleh. ‘Buku menjadi teman saya,’ ceritanya.” Kutipan dari Soekarno, Biografi 1901-1950, Lambert Giebels). Mohammad Hatta memiliki perpustakaan besar, sangat besar. Jumlah bukunya? 30.000 buah. Ia sudah sangat gemar membaca sejak kecil. Semua Bapak bangsa Indonesia sejak sekolah menengah (Hbs) menguasai 4 bahasa sekaligus, Belanda, Prancis, Inggris, Jerman. Ini berarti mereka juga mempunyai kemampuan menyerap pengetahuan, dari 4 bahasa dunia sekaligus. Keunggulan mereka, daya belajar mereka, pengetahuan mereka yang unggul.. (cukup jelas kan kenapa mereka dulu bisa mengalahkan Belanda?) Jika para tokoh bangsa Indonesia itu menyerap semua pengetahuan dunia seperti itu, bagaimana mungkin mereka tidak menjadi sejajar dengan para tokoh besar dunia? Jika nanti Ratusan Juta Manusia Indonesia menyerap pengetahuan dari semua manusia-manusia terbesar dunia, bukankah ratusan juta manusia itu juga akan menjadi manusia-manusia yang unggul di dunia? (Ratusan juta manusia yang akan menyerap semuanya, dari Nabi Muhammad, Napoleon, sampai Kennedy. Dari Leonardo da Vinci, Newton, sampai Einstein. Dari Adam Smith, Rockefeller, sampai Bill Gates. Buku. Membaca). Dan pastikan anak anda senang membaca, dia mungkin juga akan jadi orang besar. Sumber: Ebook Islam Therapy Edisi remix 2009 dan telah mengunjungi Benderahitam’s Weblog. Sebagai pengembangan konsep INDONESIA SATU JUTA PROGRAM INTERNASIONAL, saya membuat Benderahitam’s Weblog kedua.

Imam asy-Syafi’i

Imam asy-Syafi’i
Imam Muli dan Memiliki Banyak Karya yang Memesona
Siapa yang tidak kenal dengan Imam Syafi’i. Kita pikir semua orang muslim tahu dan dunia mengakuinya. Nah, sekarang kita tidak berbicara soal mahzab, namun lebih jauhnya adalah semangat menuntut ilmu, berjuang dalam agama dan berkarya.
Nama Dan Nasabnya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin Murrah bin al-Muththalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Lu`ay bin Ghalib Abu ‘Abdillah al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki, keluarga dekat Rasulullah SAW dan putera pamannya.
Al-Muththalib adalah saudara Hasyim yang merupakan ayah dari ‘Abdul Muththalib, kakek Rasulullah SAW. Jadi, Imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) dengan Rasulullah pada ‘Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga. Sebutan “asy-Syafi’i” dinisbatkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’ bin as-Saib, seorang shahabat junior yang sempat bertemu dengan Rasulullah SAW ketika masih muda. Sedangkan as-Saib adalah seorang yang mirip dengan Rasulullah SAW sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika suatu hari Nabi SAW berada di sebuah tempat yang bernama Fushthath, datanglah as-Saib bin ‘’Ubaid beserta puteranya, yaitu Syafi’ bin as-Saib, maka Rasulullah SAW memandangnya dan berkata, “Adalah suatu kebahagiaan bila seseorang mirip dengan ayahnya.” Sementara ibunya berasal dari suku Azd, Yaman.
Gelarnya
Ia digelari sebagai Naashir al-Hadits (pembela hadits) atau Nasshir as-Sunnah, gelar ini diberikan karena pembelaannya terhadap hadits Rasulullah SAW dan komitmennya untuk mengikuti as-Sunnah. Kelahiran Dan Pertumbuhannya.
Para sejarawan sepakat, ia lahir pada tahun 150 H, yang merupakan-menurut pendapat yang kuat-tahun wafatnya Imam Abu Hanifah RAH tetapi mengenai tanggalnya, para ulama tidak ada yang memastikannya. Ada banyak riwayat tentang tempat kelahiran Imam asy-Syafi’i. Yang paling populer adalah bahwa beliau dilahirkan di kota Ghazzah (Ghaza). Pendapat lain mengatakan, di kota ‘Asqalan bahkan ada yang mengatakan di Yaman.
Pertumbuhan Dan Kegiatannya Dalam Mencari Ilmu
Imam asy-Syafi’i tumbuh di kota Ghaza sebagai seorang yatim, di samping itu juga hidup dalam kesulitan dan kefakiran serta terasing dari keluarga. Kondisi ini tidak menyurutkan tekadnya untuk hidup lebih baik. Rupanya atas taufiq Allah, ibunya membawanyanya ke tanah Hijaz, Mekkah. Maka dari situ, mulailah imam asy-Syafi’i kecil menghafal al-Qur’an dan berhasil menamatkannya dalam usia 7 tahun.
Menurut pengakuan asy-Syafi’i, bahwa ketika masa belajar dan mencari guru untuknya, ibunya tidak mampu membayar gaji gurunya, namun gurunya rela dan senang karena dia bisa menggantikannya pula. Lalu ia banyak menghadiri pengajian dan bertemu dengan para ulama untuk mempelajari beberapa masalah agama. Ia menulis semua apa yang didengarnya ke tulang-tulang yang bila sudah penuh dan banyak, maka ia masukkan ke dalam karung.
Ia juga bercerita bahwa ketika tiba di Mekkah dan saat itu masih berusia sekitar 10 tahun, salah seorang sanak saudaranya menasehati agar ia bersungguh-sungguh untuk hal yang bermanfa’at baginya. Lalu ia pun merasakan lezatnya menuntut ilmu dan karena kondisi ekonominya yang memprihatinkan, untuk menuntut ilmu ia harus pergi ke perpustakaan dan menggunakan bagian luar dari kulit yang dijumpainya untuk mencatat.
Hasilnya, dalam usia 7 tahun ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz, pada usia 10 tahun (menurut riwayat lain, 13 tahun) ia hafal kitab al-Muwaththa` karya Imam Malik dan pada usia 15 tahun (menurut riwayat lain, 18 tahun) ia sudah dipercayakan untuk berfatwa oleh gurunya Muslim bin Khalid az-Zanji.
Dalam ilmu hadits, ia belajar dengan imam Malik dengan membaca langsung kitab al-Muwaththa` dari hafalannya sehingga membuat sang imam terkagum-kagum. Di samping itu, ia juga belajar berbagai disiplin ilmu sehingga gurunya banyak.
Pengembaraannya Dalam Menuntut Ilmu
Imam asy-Syafi’i amat senang dengan syair dan ilmu bahasa, terlebih lagi ketika ia mengambilnya dari suku Hudzail yang dikenal sebagai suku Arab paling fasih. Banyak bait-bait syair yang dihafalnya dari orang-orang Hudzail selama interaksinya bersama mereka. Di samping syair, beliau juga menggemari sejarah dan peperangan bangsa Arab serta sastra.
Di Baghdad tahun 195 H. Kebetulan di sana sudah ada majlisnya yang dihadiri oleh para ulama dan disesaki para penuntut ilmu yang datang dari berbagai penjuru. Beliau tinggal di sana selama 2 tahun yang dipergunakannya untuk mengarang kitab ar-Risalah. Dalam buku ini, beliau memaparkan madzhab lamanya (Qaul Qadim). Dalam masa ini, ada empat orang sahabat seniornya yang ‘nyantri’ dengannya, yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, az-Za’farany dan al-Karaabiisy.
Beliau tiba di Mesir pada tahun 199 H
Di Mesir, beliau tinggal selama 5 tahun di mana selama masa ini dipergunakannya untuk mengarang, mengajar, berdebat (Munazharah) dan meng-counter pendapat-pendapat lawan. Di negeri inilah, beliau meletakkan madzhab barunya (Qaul Jadid), yaitu berupa hukum-hukum dan fatwa-fatwa yang beliau gali dalilnya selama di Mesir, sebagiannya berbeda dengan pendapat fiqih yang telah diletakkannya di Iraq. Di Mesir pula, beliau mengarang buku-buku monumentalnya, yang diriwayatkan oleh para muridnya.
Imam asy-Syafi’i menyusun Ushul (pokok-pokok utama) yang dijadikan acuan di dalam fiqihnya dan kaidah-kaidah yang dikomitmeninya di dalam ijtihadnya pada risalah ushul fiqih yang berjudul ar-Risalah. Ushul tersebut ia terapkan dalam fiqihnya. Ia merupakan Ushul amaliah bukan teoritis. Yang lebih jelas lagi dapat dibaca pada kitabnya al-Umm di mana beliau menyebutkan hukum berikut dalil-dalilnya, kemudian menjelaskan aspek pendalilan dengan dalil, kaidah-kaidah ijtihad dan pokok-pokok penggalian dalil yang dipakai di dalam menggalinya.
Selama masa hidupnya, Imam asy-Syafi’i berada di garda terdepan dalam membela as-Sunnah, menegakkan dalil atas keshahihan berhujjah dengan hadits Ahad. Pembelaannya inilah yang merupakan faktor semakin melejitnya popularitas dan kedudukannya di sisi Ahli Hadits sehingga mereka menjulukinya sebagai Naashir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah).
Sya’ir-Sya’irnya
Imam asy-Syafi’i dikenal sebagai salah seorang dari empat imam madzhab tetapi tidak banyak yang tahu bahwa ia juga seorang penyair. Beliau seorang yang fasih lisannya, amat menyentuh kata-katanya, menjadi hujjah di dalam bahasa ‘Arab.
Hampir semua isi sya’ir yang dirangkai Imam asy-Syafi’i bertemakan perenungan. Sedangkan karakteristik khusus sya’irnya adalah sya’ir klasik. Alhasil, ia mirip dengan perumpamaan-perumpamaan atau hikmah-hikmah yang berlaku di tengah manusia.
Imam asy-Syafi’i seorang yang faqih bagi dirinya, banyak akalnya, benar pandangan dan pikirnya, ahli ibadah dan dzikir. Beliau amat mencintai ilmu, sampai-sampai ia berkata, “Menuntut ilmu lebih afdlal daripada shalat sunnat.”
Sekali pun demikian, ar-Rabi’ bin Sualaiman, muridnya meriwayatkan bahwasanya ia selalu shalat malam hingga wafat dan setiap malam satu kali khatam al-Qur’an. Ad-Dzahabi di dalam kitabnya Siyar an-Nubalaa` meriwayatkan dari ar-Rabi’ bin Sulaiman yang berkata, “Imam asy-Syafi’i membagi-bagi malamnya; sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat dan sepertiga ketiga untuk tidur.”
Imam asy-Syafi’i tetap tinggal di Mesir dan tidak pergi lagi dari sana. Beliau mengisi pengajian yang dikerubuti oleh para muridnya hingga beliau menemui Rabbnya pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H. Alangkah indah isi bait Ratsâ` (sya’ir mengenang jasa baik orang sudah meninggal dunia) yang dikarang Muhammad bin Duraid, awalnya berbunyi, Tidakkah engkau lihat peninggalan Ibn Idris (asy-Syafi’i) setelahnya. Dalil-dalilnya mengenai berbagai problematika begitu berkilauan .
Buah Pelajaran dari Sang Guru Pena:
“Bukan kecerdasan yang membuat seorang penulis menjadi besar. Kehausan pada ilmulah yang membuat setiap goresan pena menjadi penuh makna.” M. Fauzil Adhim
Seperti yang sudah kita singgung bahwa harta dan warisan yang tidak akan lapuk ditelan zaman adalah ilmu. Dan sebaik-baik ilmu adalah bermanfaat. Maka, agar ilmu itu tetap menularkan kebaikan haruslah dideposit-kan ke bank karya. Sungguh beruntunglah mereka yang telah punya tabungan, deposito karya, karena dengannya akan mengalir amalan yang bermanfaat walaupun mereka tidak lagi menghirup udara bersama kita. Sehingga kata-kata yang keluar dari mulut dan tangan (tulisan) mereka adalah mutiara yang indah, cahaya yang menerangi siapa saja yang membawanya. Di masa Imam Syafi’i cukup banyak ulama besar, namun karena Imam Syaf’i selain sebagai ulama tapi juga menulis sebagai media dakwahnya, hingga beliau lebih dikenal dan itu sangat positif dalam penyampaian dakwah, bahkan hingga hari ini ia masih hidup dalam karyanya.
Maka, jangan pernah ragu untuk berguru sukses dari para manusia besar, apalagi ulama yang tidak diragukan keilmuannya dalam agama, seperti Imam Syafi’i dan ulama lainnya yang sudah berkarya.

Prof. Dr. Buya HAMKA

Prof. Dr. Buya HAMKA
Cinta Adalah Inspirasi Mengarang

“Dasar (Inspirasi) kepengarangan saya (menjadi pengarang) adalah cinta,” “Cinta tertinggi adalah Dia Yang Pengasih dan Maha Penyayang, yaitu Allah SWT. Pandanglah alam dengan penuh cinta, dan berjuanglah dengan semangat cinta. Dengan begitu anda akan berbalas-balas cinta dengan Dia pemberi cinta. Cinta sejati adalah tatkala anda memasuki gerbang maut dan bertemu Dia, ‘Almautu ayatu bi shadiq’.”
[Prof. Dr. Buya Hamka]
 “Dengan seni hidup menjadi indah, Dengan ilmu hidup menjadi mudah,
Dengan agama hidup menjadi terarah.”
Merasa  rugi bagi yang tidak kenal dengan seorang ulama, aktivis politik, sastrawan, politikus, filsuf, dan aktivis Muhammadiyah Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara yang satu ini.  Beliau adalah Prof. Buya HAMKA (Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah) tahun 1908-1981. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Nama pemberian Ayahnya adalah Abdul Malik. Ibunya dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau Haji Rasul, dari keluarga ulama dan seorang pelopor gerakan pembaruan/modernis dalam Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Sebutan Buya bagi HAMKA, panggilan untuk orang Minangkabau, berasal dari kata abi. Abuya (bahasa Arab), yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
            Kita tahu kalau Buya HAMKA selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan memiliki penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam. HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid).
            Beliau adalah seorang ulama sekaligus sastrawan yang sangat inspiratif dan pruduktif. Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Kita tentu sudah mahfum tentang pepatah ini, “Semakin tinggi pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya.” Karya besar dan menjadi pribadi berjiwa besar akan selalu dekat yang namanya ujian. Semakin tinggi dan besar, maka ujiannya pun semakin besar. Tidak bisa kita tepis lagi apa yang terjadi dengan Buya HAMKA. Buya Hamka pernah masuk penjara dengan tuduhan palsu. Namun, menjadi inspirasi besar untuk menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang lengkap 30 jus dan sudah dicetak ulang puluhan kali. Ternyata rahasia beliau eksis berkarya adalah cinta. Inspirasi menjadi pengarangnya adalah cinta.
Penghargaan
            Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan  Gelar Datuk Indomo dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
            Kemudian, Tun Abdul Razak, pada waktu itu sebagai Presiden Universitas terbesar di Malaysia—UKM membacakan pidato elu-eluannya dengan menyebut Promovendus Prof. Dr. HAMKA sebagai pujangga Islam yang menjadi kebanggaan semua rumpun Melayu.
            “HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tapi juga kabanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara.” Ujar Tun Razak.
Pandangan Hamka Tentang Kesusastraan
Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syaikh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang (penulis). Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Karya-karya buku sejak mulai menulis dan mengarang 1925 (sejak usia 17 Tahun)
1. Khatibul Ummah. Jilid I
2. Khatibul Ummah. Jilid II
3. Khatibul Ummah. Jilid III
4. Si Sabariah (Roman, huruf Arab dan Minangkabau, dicetak tiga kali)
5. Adat Minangkabau dan Agama Islam
6. Ringkasan Tarikh Umat Islam (1929)
7. Kepentingan Melakukan Tabligh (1929)
8. Hikmat Isra’ dan Mi’raj
9. Arkanul Islam (1932) di Makasar
10.Laila Majnun (1932) Balai Pustaka
11.Majalah “Tentara” (4 nomor) di Makasar
12.Majalah Al Mahdi (9 nomor) 1932 di Makasar 
s.d 118. Tafsir Al-Azhar Juz XXX. Karya Buya HAMKA berjumlah 118 karya (buku, novel dll) dan masih ada dalam majalah Panji Masyarkat.
(DARI BUKU BERGURU SUKSES PADA PENULIS BESAR DUNIA, Karya: Muklisin Raya & Satri Adzkiya)